Dicampakkan.
Satu kata yang begitu menyakitkan untuk hinggap di hidupku. Bagaimana tidak,
jika selama lebih dari 13 tahun hidup saling mengenal dan bulan-bulan terakhir
aku akhirnya dicampakkan. Memang dicampakkan di sini bukan dalam arti yang
‘biasa’ karena secara kasat mata kita masih tinggal bersama dalam sebuah rumah
yang lebih dari cukup untuk ukuran biasa. Tapi kita hanya saling menyapa,
berbicara secukupnya, dan makan bersama. Senyum pun hanya ala kadarnya saja.
Aku benar-benar merasa asing dengan kehidupan seperti ini.

Enam bulan terakhir praktis aku tak
berkomunikasi denganmu mengenai diriku. Jika berkomunikasi pun aku lebih suka
menceritakan tentang kehidupan di tempat aku bekerja. Hal ini aku lakukan
karena aku tahu kamu begitu sibuk. Sibuk dan sibuk. Miris memang kedengarannya,
karena alasan kesibukan membuat sebuah hati menjadi begitu cepat melebur dalam
duka. Saat mengetahui keadaan sudah mulai tidak menyenangkan, ada banyak hal
yang aku perjuangkan untuk hubungan kita. Aku mulai banyak mengoreksi diri,
berharap perubahanku bisa membawa hal baik bagi hubungan kita. Perubahan aku
awali dengan tidak terlalu aktif lagi berbisnis lewat sosial media, padahal
sebulan omset bisnis ini bisa ratusan juta, aku tinggalkan kegiatan berfacebook
untuk bisnis, alhasil pemasukan ke pundi-pundi rekeningku juga terhenti, tak
ada lagi yang namanya transferan, aku mulai hidup dengan lebih sederhana.
Perubahan selanjutnya adalah aku berhenti bekerja dari sebuah lembaga bimbingan
belajar, padahal di lembaga ini karirku benar-benar baru meroket, ada banyak
tawaran untuk aku mengembangkan bakat aku dalam menulis, demi mempertahankan
hubungan ini pun aku rela berhenti walaupun aku mengundurkan diri dengan
benar-benar tak bisa membendung air mata, karena di tempat ini rekan kerjanya
begitu mengasikkan. Aku lebih banyak di rumah. Melakukan pekerjaan rumah dan
menjaga putra kita. Jika bekerja pun aku selalu berusaha menanyakan kabar lewat
telepon atau sms tapi sering kali hanya berbuah kecewa. Aku melakukan banyak
perubahan. Aku tak mau menyalahkanmu karena perubahan hubungan kita. Aku terus
berusaha untuk memperbaiki hubungan ini tapi sepertinya sia-sia saja. Aku
seperti pengemis yang berharap ada orang yang baik hati memberikan hatinya. Dan
puncaknya dia semakin menjauh dalam kesibukannya. Hingga akhirnya siang itu
sebuah rasa nyeri yang hebat aku rasakan. Sontak aku tak bisa melangkah. Aku
hanya terdiam di sudut masjid. Seluruh tubuhku tak bisa bergerak, nyerinya
benar-benar menyakitkan. Entah aku sudah berapa lama duduk terdiam di situ,
hingga sebuah sapaan menyapaku. Dia akhirnya yang membawa aku ke rumah sakit.
Laki-laki muda yang selama ini selalu tak pernah aku lihat keberadaannya telah
membawa aku ke sebuah rumah sakit. Seluruh biaya dia yang menanggung, sampai sekarang
pun dia tidak mau menerima uang ganti dari pengobatan itu. Dia yang menemani
aku melewati semua alur pemeriksaan. Tatapannya begitu mengkhawatirkanku.
Hampir seharian aku menjalani berbagai jenis pemeriksaan, dan akhirnya selembar
kertas itu membuat tangisanku membuncah di ruangan itu. Aku menjerit dan
menangis sejadi-jadinya melihat hasil tes kesehatanku. Bagaimana bisa miom yang
beberapa bulan lalu masih berukuran 0,5 cm berubah karakternya dan
pertumbuhannya begitu cepat. Aku tak bisa lagi berpikir dengan sehat, yang aku
ingat saat itu hanya sebuah kata – kematian-. Ini pertama kalinya aku berani
menangis di depan laki-laki lain, selain kamu. Tak ada adegan meminjamkan bahu
untuk tempat aku menangis, yang ada dia duduk termenung dengan muka cemas saat
melihat aku menangis histeris di atas tempat tidur bangsal.
Laki-laki inilah yang pada akhirnya
menggantikan banyak posisimu di hatiku. Banyak kisah hidup yang bisa aku bagi
bersama dia. Dia menyediakan banyak telinga untuk mendengarkan kisahku dan aku
pun mulai berhenti berkisah denganmu karena aku takut mengganggu kesibukanmu.
Ada banyak kegiatan yang bisa kami lewati bersama. Banyak moment indah yang
membuat kami semakin dekat. Lalu apakah kami bisa dibilang berselingkuh? Aku
rasa tidak. Kami hanya semacam simbiosis mutualisme. Dia mau dekat karena
kebetulan menyukai karakterku dan aku dekat dengannya karena aku sadar saat ini
hanya menjadi wanita yang malang. Bagaimana tidak malang, aku tercampakkan
dalam kondisi kesehatan yang aku sendiri masih sulit untuk menerima
kenyataannya.
Hubungan kita semakin jauh,
sementara hubungan aku dan dia semakin dekat. Aku seperti menjadi pribadi baru.
Banyak hal baru yang kami lakukan bersama, semuanya kegiatan positif dan
membawa banyak tawa untuk hidupku. Prinsip hidupku pun akhirnya berubah, aku
tak lagi memusingkan kehidupanku yang tercampakkan. Aku lebih suka menikmati
kehidupanku yang entah kapan akan berakhir ini. Menjadi pribadi yang
menyenangkan, tidak merugikan orang lain, dan bisa bermanfaat untuk sesama,
itulah yang sekarang aku lakukan. Aku begitu berusaha untuk mendekat dengan
semua orang dan membuat mereka semua tertawa. Tak masalah jika mereka
menertawakan sikapku, yang jelas aku sekarang rela menjadi bahan tertawaan
asalkan mereka bahagia. Akhirnya di tempat itu predikat baru aku dapatkan. Aku
menjadi begitu dekat dengan semua orang, berani tertawa bersama, berani
melakukan hal gokil dan ekstrem, berani mencoba hal menantang yang sebelumnya
tak pernah berani aku lakukan dan menjadi pribadi baru yang jauh dari kata
cengeng. Aku semakin menjadi pribadi yang kuat. Aku jadi lebih bisa
mempertahankan harga diriku. Dan pastinya aku menjadi lebih jauh dari kamu.
Malam itu sekuat tenaga aku katakan
tentang keinginanku untuk berpisah denganmu. Bukan karena aku tak lagi suka
denganmu, tapi aku tak mau jadi benalu dalam hidupmu. Akupun ingin lebih nyaman
menjalani sisa-sisa hidupku. Aku lebih ingin tenang saja tanpa harus meratapi
diri dan mengingat kalau aku hanya tercampakkan. Tapi kamu menolak keinginanku.
Kamu mengatakan penolakanmu dengan muka datar. Ekspresi wajahmu ini yang selama
belasan tahun ini tak pernah bisa aku artikan. Banyak argumen yang kamu
sampaikan, tapi sepertinya itu semua tak bisa mempengaruhi niatku. Aku tetap
ingin berpisah agar kita tak saling menyakiti hingga akhirnya hati kita patah.
Keesokan harinya, aku menerima
sebuah kotak besar. Saat aku buka ternyata berisi banyak bunga mawar yang
merekah dengan begitu sempurna. Dia bilang kalau indahnya bunga itu seperti
indahnya persahabatan kami. Aku hanya menerimanya dalam diam. Dalam hati pasti
senang lah mendapat perlakuan begitu istimewa tapi aku juga seperti tertampar.
Tak ada persahabatan yang sedekat ini perhatiannya. Aku memeluk erat bunga
pemberiannya. Bunga itu tak pernah aku cium, hanya aku peluk dengan erat,
seolah-olah aku ingin aroma harum bunga itu akan bisa merasuki hati terdalamku
agar selalu bisa harum semerbak. Dan menjadi penguat saat hatiku rapuh.
Malamnya
aku mendapatkan dua tangkai bunga darimu. Kamu letakkan bunga itu di kursi,
seolah-olah hanya membelikan sesuatu tanpa maksud apapun. Dan malamnya aku
menangis sejadi-jadinya dalam tidurku. Semalaman aku tak tidur. Semua kenangan
tentang kamu dan dia silih berganti hadir. Dia sosok laki-laki muda yang mampu
membuat hidupku lebih berwarna, sosok yang romantis dan humoris, sosok yang
mampu mengenalkanku banyak hal baru yang indah, menjadikan aku sosok baru yang
lebih bisa terlihat istimewanya, dan dia tak pernah sekalipun memintaku untuk
meninggalkanmu. Dia hanya bilang kalau aku tercampakkan sekali lagi, maka
dialah yang pertama kali akan memungutku lalu terus meletakkan aku dalam
hatinya. Sementara kamu, laki-laki yang belasan tahun menemaniku. Yang dengan
semua kesibukanmu mungkin berusaha untuk memahamiku. Aku juga paham kamu
berusaha menjadi ayah yang baik buat putra kita. Berusaha menggantikan posisiku
saat aku tak ada. Berusaha mencukupi kemauan aku. Berusaha sabar dengan sifatku
yang sering bertolak belakang dengan inginmu. Mungkin sibukmu juga demi kami,
istri dan putramu. Dan selama belasan tahun bersama pun hanya kesibukan dan
tidak romantismemulah yang paling sering aku keluhkan. Selebihnya aku suka
dengan semua yang ada di dirimu.
Dan akhirnya aku memilih untuk
kembali pulang. Aku pulang dan tak akan menjelajah dunia lagi. Meskipun dunia
di luar sana begitu indah menawarkan kehidupan, tapi aku memutuskan untuk
pulang. Aku pulang dan siap menerima status tercampakkan lagi. Aku pun tak akan
berbagi tangisan lagi dengan laki-laki lain. Aku memutuskan pulang dan menyelesaikan
tugas duniaku dengan kamu. Jangan pertanyakan sakitku apa. Aku cuma ingin kamu
mengenal aku sebagai sosok yang menyenangkan, bukan sosok yang menyedihkan. Aku
pulang dan siap untuk tercampakkan (lagi).
Catatan: kumpulan cerita yang dibukukan
0 Komentar untuk "Cerpen: Aku Pulang"