“Menulislah ... Dengan menulis kita bisa kaya hati, kaya wawasan, dan berlimpah cinta. Biarlah kuakarkan rinduku padamu melalui senandung goresan tinta.” ― Vitriya Mardiyati-
Diberdayakan oleh Blogger.

Our Facebook Page

Hutan Gergunung, Hutan Cantiknya Klaten

Cerpen: Aku Pulang

Dicampakkan. Satu kata yang begitu menyakitkan untuk hinggap di hidupku. Bagaimana tidak, jika selama lebih dari 13 tahun hidup saling mengenal dan bulan-bulan terakhir aku akhirnya dicampakkan. Memang dicampakkan di sini bukan dalam arti yang ‘biasa’ karena secara kasat mata kita masih tinggal bersama dalam sebuah rumah yang lebih dari cukup untuk ukuran biasa. Tapi kita hanya saling menyapa, berbicara secukupnya, dan makan bersama. Senyum pun hanya ala kadarnya saja. Aku benar-benar merasa asing dengan kehidupan seperti ini.
            Aku berharap semakin bertambahnya waktu kebersamaan kita, maka kedekatan dan kemesraan makin bisa terjalin. Aku membayangkan bisa menghabiskan sisa usiaku bersamamu, tanpa harus mencari hati lain, hidup sampai maut memisahkan dalam kehangatan sebuah keluarga. Toh aku juga tak pernah mempermasalahkan kekuranganmu yang setelah menikah ini banyak kuketahui, karena aku pun bukan pribadi yang sempurna. Tapi ternyata kadang badai datang begitu tak terduga.
            Enam bulan terakhir praktis aku tak berkomunikasi denganmu mengenai diriku. Jika berkomunikasi pun aku lebih suka menceritakan tentang kehidupan di tempat aku bekerja. Hal ini aku lakukan karena aku tahu kamu begitu sibuk. Sibuk dan sibuk. Miris memang kedengarannya, karena alasan kesibukan membuat sebuah hati menjadi begitu cepat melebur dalam duka. Saat mengetahui keadaan sudah mulai tidak menyenangkan, ada banyak hal yang aku perjuangkan untuk hubungan kita. Aku mulai banyak mengoreksi diri, berharap perubahanku bisa membawa hal baik bagi hubungan kita. Perubahan aku awali dengan tidak terlalu aktif lagi berbisnis lewat sosial media, padahal sebulan omset bisnis ini bisa ratusan juta, aku tinggalkan kegiatan berfacebook untuk bisnis, alhasil pemasukan ke pundi-pundi rekeningku juga terhenti, tak ada lagi yang namanya transferan, aku mulai hidup dengan lebih sederhana. Perubahan selanjutnya adalah aku berhenti bekerja dari sebuah lembaga bimbingan belajar, padahal di lembaga ini karirku benar-benar baru meroket, ada banyak tawaran untuk aku mengembangkan bakat aku dalam menulis, demi mempertahankan hubungan ini pun aku rela berhenti walaupun aku mengundurkan diri dengan benar-benar tak bisa membendung air mata, karena di tempat ini rekan kerjanya begitu mengasikkan. Aku lebih banyak di rumah. Melakukan pekerjaan rumah dan menjaga putra kita. Jika bekerja pun aku selalu berusaha menanyakan kabar lewat telepon atau sms tapi sering kali hanya berbuah kecewa. Aku melakukan banyak perubahan. Aku tak mau menyalahkanmu karena perubahan hubungan kita. Aku terus berusaha untuk memperbaiki hubungan ini tapi sepertinya sia-sia saja. Aku seperti pengemis yang berharap ada orang yang baik hati memberikan hatinya. Dan puncaknya dia semakin menjauh dalam kesibukannya. Hingga akhirnya siang itu sebuah rasa nyeri yang hebat aku rasakan. Sontak aku tak bisa melangkah. Aku hanya terdiam di sudut masjid. Seluruh tubuhku tak bisa bergerak, nyerinya benar-benar menyakitkan. Entah aku sudah berapa lama duduk terdiam di situ, hingga sebuah sapaan menyapaku. Dia akhirnya yang membawa aku ke rumah sakit. Laki-laki muda yang selama ini selalu tak pernah aku lihat keberadaannya telah membawa aku ke sebuah rumah sakit. Seluruh biaya dia yang menanggung, sampai sekarang pun dia tidak mau menerima uang ganti dari pengobatan itu. Dia yang menemani aku melewati semua alur pemeriksaan. Tatapannya begitu mengkhawatirkanku. Hampir seharian aku menjalani berbagai jenis pemeriksaan, dan akhirnya selembar kertas itu membuat tangisanku membuncah di ruangan itu. Aku menjerit dan menangis sejadi-jadinya melihat hasil tes kesehatanku. Bagaimana bisa miom yang beberapa bulan lalu masih berukuran 0,5 cm berubah karakternya dan pertumbuhannya begitu cepat. Aku tak bisa lagi berpikir dengan sehat, yang aku ingat saat itu hanya sebuah kata – kematian-. Ini pertama kalinya aku berani menangis di depan laki-laki lain, selain kamu. Tak ada adegan meminjamkan bahu untuk tempat aku menangis, yang ada dia duduk termenung dengan muka cemas saat melihat aku menangis histeris di atas tempat tidur bangsal.
            Laki-laki inilah yang pada akhirnya menggantikan banyak posisimu di hatiku. Banyak kisah hidup yang bisa aku bagi bersama dia. Dia menyediakan banyak telinga untuk mendengarkan kisahku dan aku pun mulai berhenti berkisah denganmu karena aku takut mengganggu kesibukanmu. Ada banyak kegiatan yang bisa kami lewati bersama. Banyak moment indah yang membuat kami semakin dekat. Lalu apakah kami bisa dibilang berselingkuh? Aku rasa tidak. Kami hanya semacam simbiosis mutualisme. Dia mau dekat karena kebetulan menyukai karakterku dan aku dekat dengannya karena aku sadar saat ini hanya menjadi wanita yang malang. Bagaimana tidak malang, aku tercampakkan dalam kondisi kesehatan yang aku sendiri masih sulit untuk menerima kenyataannya.
            Hubungan kita semakin jauh, sementara hubungan aku dan dia semakin dekat. Aku seperti menjadi pribadi baru. Banyak hal baru yang kami lakukan bersama, semuanya kegiatan positif dan membawa banyak tawa untuk hidupku. Prinsip hidupku pun akhirnya berubah, aku tak lagi memusingkan kehidupanku yang tercampakkan. Aku lebih suka menikmati kehidupanku yang entah kapan akan berakhir ini. Menjadi pribadi yang menyenangkan, tidak merugikan orang lain, dan bisa bermanfaat untuk sesama, itulah yang sekarang aku lakukan. Aku begitu berusaha untuk mendekat dengan semua orang dan membuat mereka semua tertawa. Tak masalah jika mereka menertawakan sikapku, yang jelas aku sekarang rela menjadi bahan tertawaan asalkan mereka bahagia. Akhirnya di tempat itu predikat baru aku dapatkan. Aku menjadi begitu dekat dengan semua orang, berani tertawa bersama, berani melakukan hal gokil dan ekstrem, berani mencoba hal menantang yang sebelumnya tak pernah berani aku lakukan dan menjadi pribadi baru yang jauh dari kata cengeng. Aku semakin menjadi pribadi yang kuat. Aku jadi lebih bisa mempertahankan harga diriku. Dan pastinya aku menjadi lebih jauh dari kamu.
            Malam itu sekuat tenaga aku katakan tentang keinginanku untuk berpisah denganmu. Bukan karena aku tak lagi suka denganmu, tapi aku tak mau jadi benalu dalam hidupmu. Akupun ingin lebih nyaman menjalani sisa-sisa hidupku. Aku lebih ingin tenang saja tanpa harus meratapi diri dan mengingat kalau aku hanya tercampakkan. Tapi kamu menolak keinginanku. Kamu mengatakan penolakanmu dengan muka datar. Ekspresi wajahmu ini yang selama belasan tahun ini tak pernah bisa aku artikan. Banyak argumen yang kamu sampaikan, tapi sepertinya itu semua tak bisa mempengaruhi niatku. Aku tetap ingin berpisah agar kita tak saling menyakiti hingga akhirnya hati kita patah.
            Keesokan harinya, aku menerima sebuah kotak besar. Saat aku buka ternyata berisi banyak bunga mawar yang merekah dengan begitu sempurna. Dia bilang kalau indahnya bunga itu seperti indahnya persahabatan kami. Aku hanya menerimanya dalam diam. Dalam hati pasti senang lah mendapat perlakuan begitu istimewa tapi aku juga seperti tertampar. Tak ada persahabatan yang sedekat ini perhatiannya. Aku memeluk erat bunga pemberiannya. Bunga itu tak pernah aku cium, hanya aku peluk dengan erat, seolah-olah aku ingin aroma harum bunga itu akan bisa merasuki hati terdalamku agar selalu bisa harum semerbak. Dan menjadi penguat saat hatiku rapuh.
Malamnya aku mendapatkan dua tangkai bunga darimu. Kamu letakkan bunga itu di kursi, seolah-olah hanya membelikan sesuatu tanpa maksud apapun. Dan malamnya aku menangis sejadi-jadinya dalam tidurku. Semalaman aku tak tidur. Semua kenangan tentang kamu dan dia silih berganti hadir. Dia sosok laki-laki muda yang mampu membuat hidupku lebih berwarna, sosok yang romantis dan humoris, sosok yang mampu mengenalkanku banyak hal baru yang indah, menjadikan aku sosok baru yang lebih bisa terlihat istimewanya, dan dia tak pernah sekalipun memintaku untuk meninggalkanmu. Dia hanya bilang kalau aku tercampakkan sekali lagi, maka dialah yang pertama kali akan memungutku lalu terus meletakkan aku dalam hatinya. Sementara kamu, laki-laki yang belasan tahun menemaniku. Yang dengan semua kesibukanmu mungkin berusaha untuk memahamiku. Aku juga paham kamu berusaha menjadi ayah yang baik buat putra kita. Berusaha menggantikan posisiku saat aku tak ada. Berusaha mencukupi kemauan aku. Berusaha sabar dengan sifatku yang sering bertolak belakang dengan inginmu. Mungkin sibukmu juga demi kami, istri dan putramu. Dan selama belasan tahun bersama pun hanya kesibukan dan tidak romantismemulah yang paling sering aku keluhkan. Selebihnya aku suka dengan semua yang ada di dirimu.
            Dan akhirnya aku memilih untuk kembali pulang. Aku pulang dan tak akan menjelajah dunia lagi. Meskipun dunia di luar sana begitu indah menawarkan kehidupan, tapi aku memutuskan untuk pulang. Aku pulang dan siap menerima status tercampakkan lagi. Aku pun tak akan berbagi tangisan lagi dengan laki-laki lain. Aku memutuskan pulang dan menyelesaikan tugas duniaku dengan kamu. Jangan pertanyakan sakitku apa. Aku cuma ingin kamu mengenal aku sebagai sosok yang menyenangkan, bukan sosok yang menyedihkan. Aku pulang dan siap untuk tercampakkan (lagi).


Catatan: kumpulan cerita yang dibukukan


0 Komentar untuk "Cerpen: Aku Pulang"

Back To Top